Tragedi Kompor Gas
Kapan Ledakan Elpiji Akan Berakhir?
Selasa, 3 Agustus 2010
07:46 WIB
Ledakan gas makin mencemaskan. Semua menuding program konversi energi dari minyak tanah ke penggunaan elpiji sekitar empat tahun silam sebagai biang keladinya. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang sinis menyebutkan bahwa ”bom” sudah berada di rumah kita.
Hampir setiap hari berita ledakan tabung gas tersaji melalui media elektronik ataupun cetak. Luka-luka korban diekspos. Luluh lantak rumah si korban pun digambarkan secara detail.
Tangisan tak terelakkan. Meminta pertanggungjawaban, tetapi tak tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Pasrah telah menjadi bahasa rakyat.
Kecemasan itu bukan hanya milik pengguna kompor yang menggunakan tabung gas kapasitas 3 kilogram. Terbukti, ledakan tabung gas juga dialami pengguna tabung gas 12 kg.
Bahasa kecemasan sudah semakin meluas. Tidak hanya milik warga ibu kota DKI Jakarta, tetapi sudah menjadi kecemasan bersama warga daerah.
Bayang-bayang ledakan tabung gas menjadi diskusi lucu-lucuan. Seorang pejabat mengingatkan, warna tabung gas 3 kg harusnya diganti. Jangan lagi berwarna hijau. Lalu, dia menyanyikan sepenggal lagu ”Balonku”. ”Balonku ada lima/Rupa-rupa warnanya/ Hijau, kuning, kelabu/Merah muda dan biru/Meletus balon hijau DOR!”
Tabung gas 3 kg, yang sering disebut ”buah melon”, diidentikkan dengan balon hijau.
Sulit dijawab
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Ansari Bukhari, akhir pekan lalu, mengatakan, kapan ledakan tabung gas berakhir menjadi pertanyaan yang sulit. Selain upaya pemerintah, dibutuhkan pula sikap peduli masyarakat pengguna tabung gas.
Menurut Ansari, hasil kajian kepolisian yang dipaparkan di Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat sangat besar kemungkinan ledakan itu bersumber dari valve alias perangkat kepala di tabung gas. ”Ini kemungkinan besar hasil tangan-tangan pengoplos yang melihat ada peluang mencari untung bagi diri sendiri,” kata dia.
Disparitas harga menyebabkan spekulan ikut bermain, tanpa peduli keselamatan sesamanya. Apabila dihitung kasar, penjualan tabung gas oplosan sangat menguntungkan. Saat ini selisih harga jual elpiji bersubsidi dengan nonsubsidi Rp 1.600 per kg.
Apabila sebuah tabung 12 kg kosong diisi dengan isi empat tabung gas kapasitas 3 kg, yang harganya Rp 12.500 per tabung, dengan modal Rp 50.000, pengoplos bisa untung Rp 25.000-Rp 28.000 per tabung 12 kg. Ini karena harga jual elpiji tabung 12 kg Rp 75.000-Rp 78.000.
Hanya menjual gas tabung 12 kg sebanyak 100 unit per hari, pengoplos bisa untung Rp 2,5 juta-Rp 2,8 juta. Sebulan, keuntungan dari tindakan ilegal ini bisa Rp 75 juta. Setahun sudah mengantongi Rp 900 juta, belum termasuk keuntungan dari pengurangan volume gas lewat pemindahan gas dari tabung 3 kg ke dalam tabung 12 kg.
Dari tindakan pengoplosan, menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Indroyono Soesilo, kerugian negara diperkirakan Rp 2,7 miliar per bulan untuk satu tempat kejadian.
Selain itu, dari kegiatan ilegal itu, sangat banyak pentil katup yang dirusak, baik tabung 3 kg maupun 12 kg. Tidak hanya itu, mutu tabung pun diragukan.
Padahal, sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), tabung gas 3 kg dirancang memiliki tekanan tujuh bar, bahkan masih bisa dimaksimalkan hingga 13 bar. Perangkat regulator yang mampu mengurangi tekanan gas yang siap disalurkan ke kompor mencapai 0,28 bar. ”Di sini peran konsumen menentukan. Bau gas seharusnya jadi kepedulian sebelum memanfaatkan kompor gas untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Ansari.
Terburu-buru
Boleh jadi, program konversi energi yang digagas mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada pertengahan 2006 itu dilakukan terburu-buru. Sosialisasi belum dilakukan secara matang.
Hal itu setidaknya tampak dari kejadian di masyarakat. Penerima kompor gas kini dituding tidak tahu cara pemakaian kompor gas. Proses penyaluran paket konversi pun banyak yang salah sasaran dan munculnya aksi pengoplosan pun luput dari perkiraan.
Menurut catatan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sepanjang tahun 2010 hingga pertengahan Juli terjadi 40 kali kecelakaan terkait pemakaian elpiji. Dari total insiden itu, 15 kasus di antaranya terkait penggunaan elpiji 3 kg serta 25 kasus terkait pemakaian elpiji 12 kg dan 50 kg.
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi menjelaskan, pengoplosan adalah penyebab utama terjadinya kecelakaan ledakan elpiji.
Selama ada perbedaan harga elpiji dari tabung 3 kg yang bersubsidi dengan tabung lebih besar yang tidak bersubsidi, praktik pengoplosan akan terus terjadi. Apalagi, tata niaga elpiji 3 kilogram yang bersubsidi masih terbuka. Siapa pun bisa membeli elpiji 3 kg di agen-agen elpiji, termasuk masyarakat yang bukan penerima paket perdana konversi minyak tanah ke elpiji.
Pemerintah dan pihak terkait kelabakan mengatasi persoalan ini. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita H Legowo menilai, salah satu cara mengatasi pengoplosan adalah menerapkan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup.
Mekanismenya, agen elpiji memiliki data penerima paket perdana konversi. Selanjutnya agen hanya melayani pembelian elpiji 3 kg ke penerima paket perdana. Saat membeli, pengguna harus menunjukkan kartu penerima paket perdana elpiji.
Tahun ini, pemerintah memperluas penerapan uji coba mekanisme distribusi tertutup elpiji 3 kg ke Malang Raya, Solo, dan Palembang. ”Tak bisa sekaligus dilakukan di seluruh Indonesia. Dengan distribusi tertutup, sosialisasinya lebih mudah. Kalau orangnya jelas, menelusurinya gampang,” kata Evita.
Sementara itu, tim koordinator antarkementerian sedang mengkaji tiga opsi untuk mengatasi praktik pengoplosan.
Agar ledakan elpiji tidak terus terjadi, harus ada langkah nyata dan terpadu dari pemerintah untuk mengatasi praktik pengoplosan. Persoalan lain, seperti mutu tabung dan aksesorinya, yang tidak memenuhi SNI juga jangan dilupakan.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/03/07460741/Kapan.Ledakan.Elpiji.Akan.Berakhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar