Penulis: Ary Wibowo |
Senin, 10 Desember 2012 | 08:00 WIB
AFP
Suporter
Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih raksasa saat menyaksikan tim
kesayangannya menghadapi Malaysia, pada matchday ketiga Grup B Piala AFF
2012, di Stadion Bukit Jalil, Sabtu (1/12/2012).
JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi
sepak Bola Indonesia semakin semerawut. Persoalan dualisme kompetisi
hingga konflik organisasi yang terus menjadi-jadi, semakin membuat tidak
jelas arahnya sepak bola negeri ini. Beberapa hari ke depan sepak bola
Indonesia pun akan kembali dihadapkan pada kosa kata yang sudah tak
asing lagi, yakni sanksi FIFA.
Sanksi FIFA sejatinya bukan barang
baru dalam dunia sepak bola Indonesia. Melalui surat tertanggal 13
Januari 2012 lalu, FIFA sempat meminta agar Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) segera
menyelesaikan persoalan dualisme kompetisi sepak bola Indonesia dengan
deadline pada Maret.
PSSI
dan KPSI memang sempat bersama-sama menandatangani MoU atau nota
kesepahaman di markas AFC, Kuala Lumpur, Malaysia, 7 Juni 2012. Namun,
hal tersebut seakan diabaikan karena hingga saat ini tidak ada hasil dan
langkah nyata ditampilkan kedua kubu yang bertikai itu.
Lihat saja, sering molornya sejumlah rapat
Joint Committe (JC) karena KPSI dinilai sengaja mengulur pertemuan tersebut. Belum lagi dengan adanya
deadlock
saat JC melakukan rapat ketiga tentang masalah harmonisasi tim nasional
Indonesia menjelang keikutsertaannya di Piala AFF 2012 November lalu.
Jika
sudah seperti ini, anak bangsalah yang akan menjadi korban. Salah satu
contoh adalah kegagalan timnas di Piala AFF jelas tidak bisa dilepaskan
dari tanggung jawab para pengurus sepak bola yang bertikai itu. Konflik
yang tak kunjung usai, membuat Pelatih Nilmaizar kesulitan untuk
membangun tim karena KPSI terus melarang klub ISL melepas pemainnya
membela skuad Garuda.
Di sisi lain, kubu PSSI sendiri juga
terkesan tidak berusaha membangun persatuan. Mereka dinilai memelintir
kesepakatan di MoU dengan berdasarkan statuta. Padahal, sudah jelas
landasan MoU lebih urgen daripada berkutat pada wacana statuta yang
terkesan manipulatif. Sebagai contoh soal peserta Kongres Palangkaraya
yang sudah diamanatkan MoU adalah peserta Kongres Solo. Namun, masih
saja dipelintir sehingga memperpanjang persoalan.
Jika PSSI punya itikad baik dengan cara berpegang pada MoU, maka persoalan akan selesai. Demikian juga sebaliknya dengan KPSI.
Sanksi
Atas
segala persoalan yang tidak kunjung selesai itu, FIFA akhirnya kembali
mengirimkan suratnya tertanggal 26 November yang ditandatangani Sekjen
Jerome Valcke terkait penyelesaian dualisme kompetisi maupun
kepengurusan organisasi sepak bola Indonesia.
Dalam suratnya,
FIFA memberi tenggat waktu kepada Indonesia hingga 10 Desember atau hari
ini untuk menyelesaikan berbagai masalah itu. Bila gagal, FIFA akan
mengeluarkan sanksi ketika Federasi Sepak Bola Dunia ini menggelar
pertemuan di Tokyo, 14 Desember mendatang.
PSSI melalui Sekjen
Halim Mahfudz sempat mengaku tidak khawatir jika Indonesia dibekukan
FIFA karena tidak menjalankan MoU PSSI dan KPSI. Ia menilai, MoU itu
tidak dapat langsung diaplikasikan karena harus melalui perubahan
statuta yang lebih dulu akan dibicarakan dalam kongres.
Isi MoU
itu antara lain berisi pengembalian empat anggota Komite Eksekutif PSSI
yang dipecat, penyatuan liga, dan penyelenggaraan kongres dengan peserta
sesuai dengan peserta kongres luar biasa (KLB) di Solo pada 9 Juli
2011.
”Kita tidak masalah dibekukan, dilarang, atau dibubarkan.
Kalau buat kami, lebih baik disanksi, tetapi kami tetap melaksanakan
statuta daripada kita melanggar statuta dan dibekukan," kata Halim.
Walhasil,
PSSI pun berencana untuk tetap menggelar kongres di Palangkaraya meski
hingga kemarin malam belum mendapat rekomendasi dari Kemenpora, yang
saat ini dipimpin oleh Pejabat Sementara Agung Laksono. Pasalnya,
Kemenpora merasa belum mendapatkan daftar verifikasi peserta kongres
yang sesuai dengan MoU.
"Cobalah lepaskan baju-baju kepentingan
golongan masing-masing. (Sepak bola Indonesia) ini sudah darurat dan
menyangkut kepentingan negara, jadi harus segera diselesaikan," kata
Agung.
Karena masalah itu, KPSI pun berencana untuk membentuk
kongres sendiri di Jakarta, Senin (10/12/2012), yang akan dimotori empat
anggota Eksekutif Komite yang dipecat yaitu, La Nyalla Matalliti, Tony
Apriliani, Erwin Budiawan dan Roberto Rouw. Dengan demikian, kembali
kedua kubu itu jalan sendiri-sendiri dan tidak ada kebersamaan membangun
sepak bola Indonesia.
Bosan
Melihat
sejumlah fakta di atas, maka wajar rakyat Indonesia saat ini sudah bosan
dengan aksi pertikaian PSSI dan KPSI yang tidak mengenal kata akhir.
Ratusan juta masyarakat juga sepertinya sudah tidak peduli dengan siapa
yang akan memenangkan duel perseteruan panjang kedua kubu tersebut.
Semestinya
PSSI dan KPSI sadar meskipun ada seribu kali KLB, akan tetap sia-sia
jika dendam PSSI dan KPSI itu terus tercipta. Harus ada kebersamaan
membangun sepak bola Indonesia dengan hati. Jika kondisinya terus
seperti ini, publik sepak bola Indonesia tinggal menunggu reaksi FIFA
untuk menjatuhkan sanksi.
Jika kemungkinan terburuk itu terjadi,
mungkin saja ada berkah tersendiri bagi sepak bola Indonesia, karena
pemerintah dapat dijadikan ajang bersih-bersih menyingkirkan para
loyalis politik yang terus mengotori lapangan sepak bola.
Toh,
jika menilai timnas yang akan dikorbankan, perjuangan mereka juga selalu
dijadikan alat permainan dari konflik tersebut sehingga terus tertunduk
di podium kekalahan sejak 21 tahun silam.
Karena itu kedua
pengurus itu harus menanyakan kepada masyarakat Indonesia, apa yang
diharapkan mereka untuk sepak bola? Jawabannya hanya satu, yaitu
mendapatkan prestasi, titik! Jika pengurus sekarang terlalu bebal
memaknai keinginan itu, semoga nanti generasi baru yang dapat mencetak
dan mengelola sepak bola yang lebih memahami keinginan 240 juta rakyat
Indonesia.
Sumber :
http://bola.kompas.com/read/2012/12/10/08002387/Indonesia.Menunggu.Sanksi.FIFA